KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
tingkah laku pidana
secara material di Indonesia. KUHP yang sekarang
diberlakukan merupakan KUHP yang berasal dari
hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch- Indie. Pengesahannya
diterapkan melalui Staatsblad Tahun
1915 nomor 732 dan mulai berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan ditemani penyelarasan
kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan.
Hal ini berdasarkan pada Ketetapan
Peralihan Pasal II UUD 1945 yang
menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih berada langsung
diberlakukan selama belum diselenggarakan yang baru menurut
Undang- Undang Dasar
ini." Ketetapan tersebutlah yang kemudian dijadikan dasar hukum pemberlakuan semua peraturan
perundang-undangan pada masa kolonial di masa
kemerdekaan.
Mengingat bagaimana hukum sudah seharusnya lahir dari nilai nilai yang
ada di masyarakat. Semangat
dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi menjadi tujuan hadirnya
RKUHP. Rencana untuk melakukan pembaharuan hukum yang sesuai
dengan nilai yang hidup di masyarakat Indonesia
muncul pada tahun 1963 yang menjadi
titik awal tercetusnya RKUHP, yang kemudian berjalannya waktu usaha untuk
perbaikan RKUHP sampai dengan yang terakhir ialah Pemikiran RKUHP tahun 1991/1992
yang diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
merupakan rancangan
undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaruhi atau “meng-update” KUHP yang berasal
dari Wetboek van Srafrecht
voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan
politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini.
RKUHP telah disusun sejak tahun 1968 dan mempunyai 628 pasal didalamnya. Namun karena dalam penyusunannya selalu disesuaikan dan mengikuti perkembangan kehidupan bermasyarakat
selama lebih dari 50 tahun, maka tidak dipungkiri ada beberapa pasal yang mungkin
dianggap kurang sesuai dengan kehidupan masyarakat milenial saat ini dan dianggap sebagai
pasal-pasal kontroversial. Namun apabila
benar-benar membaca dan memahaminya, maka dalam RKUHP tersebut banyak aturan atau pasal-pasal yang
telah
di- update
menjadi lebih jelas dan rinci daripada KUHP. Belum lama Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Edward Omar Sharif
Hiariej mengungkap, RKUHP akan segera
disahkan pada bulan Juli 2022 hal itu disampaikannya setelah rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI. Hal ini
menimbulkan reaksi dari masyarakat dikarenakan draft RKUHP tidak dibuka ke
publik dan juga memiliki respon yang kurang baik dari masyarakat pada tahun 2019 lalu.
Pada 2019 lalu, pembahasan RKUHP ditunda
lantaran menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Beberapa pasal yang dimuat
dalam draf RUU itu dinilai multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet. Baca
juga: Pasal-pasal Karet RKUHP yang Jadi Sorotan Beberapa pasal yang menuai
banyak penolakan misalnya terkait penghinaan terhadap pemerintah atau penguasa.
Pasal-pasal itu mengatur pidana pada perbuatan penghinaan terhadap pemerintah,
penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, penghasutan untuk
melawan penguasa umum, hingga penyerangan terhadap kehormatan presiden dan
wakil presiden.
Salah satu pasal kontroversional dalam
draf RKUHP versi 2019 yaitu Pasal 240 dan Pasal 241. Pasal itu menyebutkan
bahwa perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3
tahun, bahkan 4 tahun jika perbuatan tersebut dilakukan melalui teknologi
informasi. "Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap
pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV," demikian Pasal 240 draf RKUHP. Kemudian,
dijelaskan pada Pasal 241 bahwa, "Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh
umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau
menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan
terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum
yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda.
Pemerintah hingga kini belum mempublikasi
atau menampilkan draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) ke publik. Draf terbaru RKUHP tersebut masih dirahasiakan oleh
pemerintah. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif
Hiariej atau Eddy mengakui bahwa pemerintah memang belum membuka draf terbaru
itu ke publik. "Bukannya kami tidak mau membuka draf tersebut kepada
publik, tetapi ini ada proses yang harus dihormati bersama," kata Prof
Eddy saat mengikuti diskusi terkait RUU KUHP yang disiarkan langsung di akun
YouTube Pusdatin Kumham, Kamis (23/6/2022).
Ada beberapa poin yang menjadi tuntutan
mahasiswa.
Tuntutan pertama, mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf
terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan secara transparan
dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna. Kedua, menuntut
Jokowi dan DPR RI untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP,
terutama pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan
berekspresi.